ANNISA


FEMINISME

           Memaknai refleksi Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret sebagai tonggak sejarah kaum hawa sedunia memperoleh legitimasi dalam Gerakan keadilan dan Kesetaraan Gender (GKG), maka tidak dapat dipungkiri jika dunia perempuan masih kerap diliputi dengan berbagai tindakan kekerasan, pelecehan, peremehan hak. Hal ini mengingatkan kita pada penggalan lirik dari lagu perjuangan “Sabda Alam” karangan Ismail Marzuki yang mendiskripsikan “Wanita dijajah pria sejak dulu, Dijadikan perhiasan sangkar madu.
       Kita memang tidak dapat menerima dengan argumentasi apapun segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Apalagi praktik pelecehan, peremehan dan penganiayaan hak kelompok masyarakat rentan seperti kaum perempuan. Bahkan kita harus menghilangkan, jika perlu melakukan upaya pro justicia kepada siapa pun yang mencoba melanggar hak serta merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan. Terlebih disaat kita di kekinian telah memiliki konstitusi baru dan sejumlah paket peraturan perundang-undangan yang telah menjamin hak perempuan untuk berekspresi dan berapresiasi secara optimal dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
        Dalam galeria Yuris Diksi Nasional, sebenarnya kita telah memiliki landasan hukum yang cukup memadai tentang Kesetaraan Gender dan Perlindungan Hak bagi Perempuan antara lain: Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, UU No. 36 tahun 2003 tentang Ratifikasi Hak Anak, UU No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan hak Anak, UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PuG) dalam Pembangunan Nasional, yang kesemuanya merupakan bagian dari kohesi komitmen kita dengan berbagai konvensi Internasional, khususnya Penandatanganan Hasil Kesepakatan Kongres Perempuan Beijing 1995 yang menghasilkan 12 bidang kritis perempuan sedunia.
           Meski demikian, kita pun tentu setuju jika eksistensi GKG ditempatkan secara proporsional, objektif dan multi dimensional. dalam khasanah Indonesia. Ini penting karena opini public yang terbangun dalam memahami aspek perjuangan GKG di Indonesia, tampaknya cenderung didominasi kalau bukan identik dengan pandangan feminisme. Betapa tidak karena trend perjuangan GKG belakangan ini tampak kebablasan dan ditengarai mengemban misi sebagai agent gerakan feminisme global. Indikasi ini secara kasat mata, terpotret dari paradigma GKG di Indonesia terbangun dalam proses dialektika dan rivalitas yang menempatkan pria dan perempuan sebagai kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Tak ayal lagi gendereng perlawanan kaum perempuan atas dominasi pria pun ditabuh dengan konstalasi issue patriarkhi dan konstruksi sosial.
        Tengoklah fenomena penentangan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang kini marak terjadi di tanah air. Anehnya karna hal tersebut ternyata justru ikut disuarakan oleh GKG. Padahal kehadiran RUU tersebut, secara substantif justru meninggikan derajat dan menjauhkan perempuan dari praktik eksploitasi dibalik aktivitas pornografi dan pornoaksi. Jika GKG menolak RUU ini tentu dengan segala implikasi negatifnya, bukankah itu berarti perempuan sendiri merestui berlangsungnya praktik eksploitasi kaumnya sendiri oleh kaum kapitalis dan hedonisme dibalik aktivitas pornografi dan pornoaksi.
      Persoalan lain yang cukup krusial dibalik kampanye kaum feminisme yang kerap diimprovisasi oleh GKG kita selama ini adalah tentang pemaknaan emansipasi perempuan. Ini perlu terus dielaborasi secara komprehensif dan multidimensional karena salah satu persepsi publik paling popular terhadap issue emansipasi perempuan adalah perjuangan kaum perempuan demi memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Persepsi semacam ini cukup rentan eksploitasi dan pandangan liberalitas perempuan yang cenderung kebablasan. Namun anehnya karena persepsi seperti itulah yang justru diekspresikan oleh sebagian besar pejuang GKG selama ini.
      Dalam struktur negara, persepsi tersebut juga merambah dibenak para pejabat maupun istri pejabat. Tak kurang Menteri Negara urusan Perempuan pun lantang mencanangkannya sebagai pekik perjuangan resmi kaum perempuan Indonesia. Padahal jika dikaji dalam perspektif sosio filosifis, maka makna emansipasi perempuan sebenarnya bukan demi memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Sebab apabila hak perempuan benar-benar persis disamakan dengan hak pria, maka hal itu sebenarnya justru sangat merugikan pihak perempuan sendiri. 
       Sebaliknya, hak kaum pria, secara kodrati, juga tidak mungkin disamakan dengan perempuan. Sebab secara faktual aksiomatik, kondisi masing-masing jenis kelamin dengan latar belakang biologis kodrati yang tidak sama. Sehingga hak dan kewajibannyapun tidak harus sama walau ada yang sama. Meski dipaksakan dengan cara apapun, maka secara kodrati kaum pria tidak mungkin dapat melakukan sesuatu yang menyamai perilaku kodrati perempuan, seperti menstruasi, pregnasi, laktasi (datang bulan, mengandung (plus melahirkan), menyusui). Allah memang menciptakan sifat-sifat biologis kodrati pria beda dengan perempuan. Bentuk alat kelamin pria juga diciptakan Allah, berbeda dari perempuan, justru demi fungsi reproduksional agar makhluk manusia tidak punah. 
       Sungguh hal yang cukup naïf kalau bukan kekeliruan jika GKG berjuang untuk memperoleh hak yang sama dengan hak pria. Karena latar-belakang kodrati yang berbeda, di dunia tenaga kerja di Indonesia masa kini, kaum perempuan justru memiliki kelebihan hak ketimbang pria, yakni cuti menstruasi, hamil sekaligus melahirkan. Dengan hak cuti dua hari setiap bulan di masa menstruasi, masih ditambah hak cuti tiga bulan = 90 hari di masa hamil dan melahirkan, seorang pekerja perempuan malah memiliki kelebihan hak cuti selama: 90 + (12 x 2) = 114 hari ketimbang pria. Apabila hak pekerja perempuan disamakan dengan pekerja pria, maka hak lebih 114 hari itu langsung lenyap, ini jelas merugikan perempuan. Sebaliknya tidak ada alasan, bagi pekerja pria untuk disamakan hak cuti kodratinya dengan pekerja perempuan, akibat latar belakang realita kodrati biologis kaum pria mustahil memenuhi syarat untuk memperoleh cuti. Sungguh sangat menggelikan, kalau bukan ekspresi cengeng jika pekerja pria menuntut hak cuti kodrati mereka, misalnya cuti ereksi, atau cuti menghamili, yang secara fisik sebenarnya cukup melelahkan itu. Perjuangan yang paling konstruktif oleh GKG dewasa ini adalah bagaimana pekerja perempuan memperoleh hak atas imbalan gaji sesuai realita kemampuannya, setara dengan yang diterima pekerja pria dengan kemampuan sama. Secara kultural, jika hak perempuan disamakan dengan pria, juga merugikan perempuan! Karena dengan persamaan hak, maka kaum perempuan, terutama yang sedang hamil, akan kehilangan hak kultural untuk dilindungi, dan prioritas kemudahan di saat-saat khusus, seperti hak memperoleh tempat duduk yang layak di kendaraan umum, atau hak untuk terlebih dahulu diselamatkan di saat bencana atau kecelakaan, maupun hak untuk memperoleh prioritas kehormatan seperti dibukakan pintu mobil, dipayungi di saat hujan, dan aneka adat istiadat tata kesopanan yang menguntungkan kaum perempuan.
      Dengan demikian makna emansipasi perempuan yang benar, adalah perjuangan kaum perempuan demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Sampai kini, mayoritas perempuan Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan sektor informal belum sadar atas hak-haknya, apalagi memiliki, hak memilih dan menentukan nasib mereka sendiri, karna secara normatif terbelenggu persepsi etika, moral, dan hukum genderisme lingkungan sosio-kultural serba keliru. Belenggu budaya anakronistis itulah yang harus didobrak GKG dan bukan mengekspresikan konsep feminisme yang cenderung melabrak tata nilai kemuliaan perempuan dalam khasanah ke Indonesiaan yang bertumpu pada akar kultural dan religitas